All on my mind

Tuesday, November 15, 2005

Jakarta = Gula-gula?

"Slamat pagi menjelang siang untuk semua penumpang disini, permisi pak sopir dan pak kondektur. Mungkin kehadiran saya disini mengganggu kenyamanan perjalanan anda. Kehadiran saya hanya sekedar mencari sedikit kemurahan hati dari bapak2 dan ibu2. Sebetulnya saya malu mencari uang seperti ini, tapi lebih baik saya malu tapi jujur drpd saya menodong dan mencuri yang bukanlah pekerjaan saya. Kebaikan hati anda tidak dapat saya balas, tapi biarlah Allah Swt-lah yg akan membalasnya. Terima kasih atas perhatian anda."

Kira-kira itulah sesuatu yg gue denger tiap hari di dalam bis. Ada berbagai macam alasan, ada yg krn cacat tubuhnya, ada yg sekedar bertahan hidup, ada juga yg
ngomong gini tapi sambil stgh memaksa meminta recehan dr penumpang.

Seminggu lebih setelah lebaran, jalanan yg sempat sepi saat lebaran kmrn, mulai macet kembali dan bis kembali ramai dan padat. Mudik tahun ini yg kabarnya tidak
seramai tahun lalu, tetap saja memberikan masalah baru yg sudah klasik buat kota Jakarta ini. 1 mudik kembali 2, 1 keluar masuk 2. Mereka yg mudik bisa dikatakan
mereka terlihat sukses di mata keluarganya di kampung, walaupun hanya seorang buruh. Nenteng handphone yg tiap taon selalu ganti, ganti chasing doank tentunya akan terlihat wah oleh keluarganya. Baju bagus, duit kontan, sampai kendaraan bermotor (walaupun nyewa) menjadi ukuran kesuksesan bagi keluarganya thd seseorang yg berpetualang ke kota.

Jakarta sebagai ibu kota selalu memberikan mimpi2 yg indah buat para pendatang, walaupun mereka tidak tahu bakal ngapain, kerja apa, atau tinggal dimana. Yah...
buntut2nya mereka akan mengamen ato sekedar minta2 bahkan mungkin menjadi kriminal. Jadi apa sih sebetulnya yg ada di jkt sampai semuanya kebelet pengen bisa bekerja (baca: sukses) di ibukota ini.

Hal pertama yang terlintas di benak gue adalah gaji yg lebih besar. Upah minimal untuk di ibukota yg sebesar 819.100 rupiah. Gue mencoba menghitung2, tp gak tau
gmn orang dgn gaji sebesar itu bisa bertahan selama 1 bulan. Buat naik angkot aja, minimal itu mesti ngasih rp 1500 sekali jalan, buat pp brarti 3000, kalikan dgn
20 maka itu sebesar 60000. Makan siang, anggaplah itu ditanggung ama pabrik/kantor. Jadi dia perlu buat makan malam, taruhlah itu 5000 sekali makan, dikali 30 hari total 150000. Lalu untuk kost. Gue gak tau brp rata2 kost buat buruh gitu, paling taro-lah rp 300000. Belanja keperluan sehari2 selama sebulan paling gak rp 150000 (menurut artikel di koran sebetulnya 150000 udah gak cukup lg). Buat jajan, taruhlah 4000/hari dikali 30 hari total 120000. Hitung-hitung-hitung total pengeluaran = Rp 810000. Sisa buat ditabung cuman 9100. Untung kl gitu, kl udah punya istri dan anak gmn? Jadi apakah benar Jkt itu bisa memberikan gaji lebih besar? Padahal taraf hidupnya-pun jg lebih besar.

Motivasi yg lain, ingin terkenal, terutama buat mereka yg didesa dikenal sbg raja/ratu dangdut. Pengen mengikuti jejak Inul ato yg lainnya. Apakah semudah itu? Untuk ikutan semacam audisi2 itu tidaklah mudah. Penyaringannya saja sudah sangat ketat. A friend of mine, yg seorang penyanyi, udah keliling dunia berkat nyanyi gak lolos dr penyaringan tahap awal di audisi Indonesian Idol (sebelum ketemu 4 juri itu).

Rasanya apapun motivasi dr perantau, mereka selalu melihat gemerlapnya kota jkt, walaupun asal mereka jg berasal dr kota besar lainnya, like Semarang, Surabaya, to name a few. Jadi, buat teman2 perantau, apa sih yg sebetulnya bisa dilihat dr Jakarta? Apakah memang Jakarta itu layaknya gula-gula yg selalu mengundang semut untuk mendatanginya?


Havenu Shallom Alechem
[Pst-e]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home